oleh Derry Tannama,
Koordinator Kaesar Brantas
Assalamu’alaikum warahmatullah,
Hallo semua, kalian pasti pernah mendengar isu
mengenai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB 2030 (TPB 2030), atau biasa juga
disebut Sustainable Development Goals (SDGs 2030). Tapi, apakah kalian
tahu apa itu TPB 2030? Penasaran? Tenang, kami akan membantu menjelaskannya
kepada kalian, sehingga kalian tidak akan mati karena penasaran. Jadi, langsung
saja yuk...
TPB 2030 merupakan program Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan 17 poin utama dan 169 indikator pencapaian pembangunan global, yang memiliki tenggat waktu hingga tahun 2030. TPB dirancang untuk menerapkan peran partisipatif dari setiap elemen dan lapisan yang ada, mulai pemerintah, industri, akademisi, hingga organisasi dan komunitas masyarakat (Non-govermental organisation/NGO) dengan prinsip Leave No One Behind (Tidak Meninggalkan Satu Orangpun).
Prinsip Leave No One Behind berarti bahwa TPB harus mampu menjawab dua hal, yaitu keadilan prosedural dan substansial. Keadilan prosedural adalah sejauh mana seluruh pihak, terutama yang selama ini tertinggal, dapat terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan. Sedangkan keadilan substansial adalah sejauh mana kebijakan dan program pembangunan dapat atau mampu menjawab persoalan-persoalan warga terutama kelompok tertinggal.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 di Indonesia
Adapun ke-17 poin yang tercantum dalam TPB 2030
PBB adalah sebagai berikut;
- Tanpa Kemiskinan
- Tanpa Kelaparan
- Kehidupan Sehat dan Sejahtera
- Pendidikan Berkualitas
- Kesetaraan Gender
- Air Bersih dan Sanitasi Layak
- Energi Bersih dan Terjangkau
- Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi
- Industri, Inovasi dan Infrastruktur
- Berkurangnya Kesenjangan
- Kota dan Pemukiman Yang Berkelanjutan
- Konsumsi dan Produksi Yang Bertanggung Jawab
- Penanganan Perubahan Iklim
- Ekosistem Lautan
- Ekosistem Daratan
- Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh
- Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan
Sebelum program TPB diberlakukan pada 2015
lalu, PBB telah memiliki program pionir berupa Tujuan Pembangunan Milenium, atau
Millenium Development Goals (MDGs)
yang berlaku mulai tahun 2000 hingga 2015. Di Indonesia sendiri, pelaksanaan
MGDs mengalami keterlambatan dan baru diterapkan pada tahun 2010, dengan dalih
masih berada dalam tahap pemulihan pasca krisis ekonomi yang melanda pada tahun
1998.
Evaluasi besar terhadap prestasi pencapaian MGDs
adalah poin kesepakatan yang hanya diberlakukan kepada negara berkembang dan
kurang berkembang. Faktor penghambat lainya adalah pelaksanaan MGDs yang sangat
bersifat eksklusif dan terpusat, artinya hanya pemerintah pusat saja yang
mengetahui dan melaksanakan peran untuk mencapai tiap poin.
Maka dari itu, pada 2015, untuk menggantikan
kesepakatan yang lama dibuatlah suatu program pembangunan terintegrasi yang
baru, yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (Sustainable Development Goals/SGDs 2030). Program ini dibentuk dan
disetujui dalam Sidang Umum PBB ke-70 pada bulan September tahun 2015 di Kota New
York, Amerika Serikat. Program pembangunan baru ini disepakati oleh 193 kepala
negara dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan agenda Transforming
Our World : The 2030 Agenda for Sustainable Development yang berlaku
mulai tahun 2016 hingga tahun 2030 mendatang.
Berbeda dengan program PBB sebelumnya, program
baru ini turut melibatkan stakeholder
non-pemerintah dalam penyusunan tujuan pembangunan yang baru, yaitu dengan
diadakannya my world survey sebagai
bahan masukan dalam penentuan poin tujuan. Dalam penerapannya, TPB memiliki 5
prinsip dasar yaitu people (manusia)
, planet (bumi), prosperity (kemakmuran), peace
(perdamaian) dan partnership
(kerjasama), atau biasa disingkat dengan 5P yang menaungi 17 tujuan dan 169
indikator global.
Dalam pelaksanaan TPB 2030 ini pemerintah
Indonesia berkomitmen agar tidak tertinggal sebagaimana sebelumnya. Salah satu
bentuk komitmen pemerintah atas pelaksanaan TPB 2030 ini adalah dengan
mengeluarkan Perpres No.59 tahun 2017 tentang pelaksanaan Pencapaian TPB. Termaktub
dalam Perpres tersebut adalah arahan kerja dan struktur Tim Koordinasi Nasional
TPB/SGDs dengan membagi 4 konsentrasi dari 17 poin utama TPB, yaitu Kelompok
Kerja Pilar Pembangunan Sosial, Kelompok Kerja Pilar Pembangunan Ekonomi,
Kelompok
Kerja Pembangunan Lingkungan dan Kelompok Kerja Pilar Pembangunan Hukum dan
Tata Kelola yang dikoordinir dan diawasi secara langsung oleh Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas).
Dari setiap poin tersebut memiliki indikator
pencapaian yang telah dirumuskan secara seksama oleh Kementerian PPN/Bappenas
dalam bentuk RAN (Rencana Aksi Nasional) TPB, dengan berpedoman kepada Perpres
No. 59 Tahun 2017. Adapun indikator tencapaian tiap poin tujuan telah dan dapat
dilihat pada situs resmi Bappenas berikut ini : http://sdgs.bappenas.go.id/dokumen/metadata-indikator/
Siapa yang Berpartisipasi?
Siapa yang Berpartisipasi?
TPB 2030 atau SGDs 2030 merupakan agenda kelanjutan dari Millennium Development Goals (MGDs) yang berlaku pada tahun 2000 hingga akhir 2015. Yang membedakan antara MGDs dan SGDs adalah keterlibatan pelaksanaan, pada MGDs yang menjadi pionir pelaksanaannya hanya pemerintah pusat sedangkan pada SGDs memliki sifat parsitipatif dengan melibatkan pemerintah, akademisi, Industri dan organisasi masyarakat yang diharapkan bisa menjadi poros pergerakan pencapaian TPB 2030 nantinya.
Jelas sekali bahwa pelaksanaan TPB di Indonesia merupakan peluang besar untuk dimanfaatkan karena melibatkan langsung seluruh elemen masyarakat. Kali ini saya lebih menyoroti peran dari Akademisi dan Organisasi Kepemudaan karena saat ini di Indonesia memiliki keunggulan usia produktif yang seharusnya menjadi kekuatan dalam pelaksanaan TPB.
Akademisi atau biasa disebut kaum intelektual merupakan segenap civitas akademika kampus baik sebagai tenaga pengajar/Dosen maupun Mahasiswa. Sudah sepatutnya peran akademisi dapat dioptimalkan dengan kemampuan dan pengetahuan yang lebih, kaum akademisi selalu memiliki inovasi baik secara teknologi maupun mengkritisi kebijakan pemerintah, tentunya dengan peran disiplin ilmu masing-masing. Jika disiplin ilmu mampu berkonsentrasi pada tiap poin tujuan berkelanjutan, maka akan sangat membantu menyelesaikan pelaksanaan TPB 2030 di Indonesia. Jika tiap disiplin ilmu mampu berkolaborasi dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang kompleks, maka akan lebih mudah dalam mencapainya.
Misal daerah Bojonegoro merupakan kawasan potensi pengasil pangan yang besar, namun pada saat musim hujan Bojonegoro adalah kawasan banjir akibat meluapnya sungai Bengawan Solo. Anehnya, pada saat musim kemarau malah terjadi kekeringan dibanyak titik daerah. Akhirnya petani hanya mengandalkan sistem tadah hujan karena tidak adanya sistem irigasi yang baik. Dari permasalahan yang kompleks tersebut bukan tidak mungkin dapat terselesaikan. Kolaborasi akademisi yang memiliki disiplin ilmu yang tepat mampu menyeslesaikan permasalahan tersebut. Misal akademisi dengan disiplin ilmu Pertanian, Geomatika, dan Sipil memiliki terobosan dengan membangun bendungan yang tepat bagi daerah Bojonegoro serta memiliki sistem cocok tanam yang tepat menyesuaikan kebutuhan dan kondisi iklim. Tentunya sangat membantu baik bagi Indonesia secara tidak langsung dan berdampak langsung untuk masyarakat Bojonegoro.
Begitu pula Organisasi Kepemudaan dengan TPB maka dapat fokus dalam melakukan kegiatan positif yang berdampak pada lingkungan dan masyarakat ditambah lagi dengan potensi kolaborasi tiap organisasi kepemudaan yang mampu menyelesaikan permasalahan dengan menyeluruh.
Mau bagaimanapun ini merupakan hasil manifestasi pribadi penulis yang masih banyak kekurangan dan kesalahan. Salam Kolaborasi !
Terima kasih yang sudah membaca :)
Kritik dan saran yang membangun di tunggu ya....
Misal daerah Bojonegoro merupakan kawasan potensi pengasil pangan yang besar, namun pada saat musim hujan Bojonegoro adalah kawasan banjir akibat meluapnya sungai Bengawan Solo. Anehnya, pada saat musim kemarau malah terjadi kekeringan dibanyak titik daerah. Akhirnya petani hanya mengandalkan sistem tadah hujan karena tidak adanya sistem irigasi yang baik. Dari permasalahan yang kompleks tersebut bukan tidak mungkin dapat terselesaikan. Kolaborasi akademisi yang memiliki disiplin ilmu yang tepat mampu menyeslesaikan permasalahan tersebut. Misal akademisi dengan disiplin ilmu Pertanian, Geomatika, dan Sipil memiliki terobosan dengan membangun bendungan yang tepat bagi daerah Bojonegoro serta memiliki sistem cocok tanam yang tepat menyesuaikan kebutuhan dan kondisi iklim. Tentunya sangat membantu baik bagi Indonesia secara tidak langsung dan berdampak langsung untuk masyarakat Bojonegoro.
Begitu pula Organisasi Kepemudaan dengan TPB maka dapat fokus dalam melakukan kegiatan positif yang berdampak pada lingkungan dan masyarakat ditambah lagi dengan potensi kolaborasi tiap organisasi kepemudaan yang mampu menyelesaikan permasalahan dengan menyeluruh.
Mau bagaimanapun ini merupakan hasil manifestasi pribadi penulis yang masih banyak kekurangan dan kesalahan. Salam Kolaborasi !
Terima kasih yang sudah membaca :)
Kritik dan saran yang membangun di tunggu ya....
Referensi :
- Sekar Panunuh,Melia Riskia Fitri . 2016. Perkembangan Pelaksanaan Sustainable Development Goals (SGDs) di Indonesia. INFID
- Setyo Budiantoro. 2017. Metadata Untuk Penyusunan Rencana Aksi Yang Partisipatif. Kementrian PPN/Bappenas
- Perpres No.59 tahun 2017
- SDGs 2030 Indonesia. Apa Itu SDGs 2030 . Diakses 06 September 2018. https://www.sdg2030indonesia.org/page/8-apa-itu
Comments
Post a Comment